Tentang
makna dari sebuah perjalanan
Rabu, 18 Juli 2012..
Ku awali
pagi ku dengan tak bertujuan jelas. Beda seperti biasanya. Karena biasanya
ketika pagi menyapa, aku sudah bersama dengan segala rencana yang harus aku
kerjakan seharian itu. Aneh.. yaa, memang sangat aneh.
Akhirnya
aku bangun dengan bermalas-malasan. Ikey sudah mandi, Dea segera menyusul, dan
aku, hanya terdiam.
Ku ceritakan
kebingunganku kepada Dea. Sebenarnya, bukan kebingungan aku harus melakukan
apa. Tapi bingung apakah, ketika aku melakukan “sesuatu” yang sulit ku sebutkan
itu, apakah tak apa?? Apakah bisa?? Dan apakah memungkinkan??
Aku sebutkan saja yaa biar kita
tidak memakai kata-kata aneh lagi :D
Aku-ingin-ke-Bandung. Sangat ingin.
Sangat mungkin juga karena hari ini memang aku belum ada agenda. Belum ada
rapat BPM, belum ada rapat atau pun juga belum ada yang perlu di awasi dari
kegiatan BEM hari ini. Ya, BELUM ada.
Akhirnya,
aku putuskan, aku ke Bandung. Tujuanku jelas. Membeli Rice Cooker untuk
persiapan puasa dan mengembalikan hard disk Teh Nestri..
Perjalananku
dimulai dengan adanya diriku di pinggir jalan menunggu Bis Bandung-Cirebon arah
ke Bandung. Pukul 11.30, aku mendapatkan bis, dan perjalanan di mulai. Entah
kenapa, aku menyukai Bandung. Tapi aku lebih menyukainya ketika aku sendiri.
Berada di Bandung sendiri, itu sangat menyenangkan.. J
Berada di
bis Babon ber-AC. Aku iseng buka FB. Dan ku lihat status seseorang yang ku
kenal. Aaah, dia bilang dia sedang sibuk di jurusan, makanya dia tidak bisa fokus
di BPM. Aku kesal. Sangat kesal. Dia membuat status dan berFB ria ternyata
sekarang. Entah apa yang mendorong
tangan jenjangku untuk menulis di kotak “Apa yang Anda pikirkan”. Aku
menuliskan kata-kata seperti ini “ kalau lah kita mengerti arti sebuah amanah, maka
sepertinya tak ada sedikitpun pikiran untuk melalaikannya”.
JRENG! Tepat sasaran . menusuk
target. Dia comment, intinya meminta maaf karena belum bisa beramanah"… asssssjh
bukan itu jawaban yang aku inginkan. Kau tau?? aku cuma ingin kau menulis “aku
akan beramanah dengan amanah yang aku pegang” kemudian kau meng-sms aku, dan
menanyakan amanahmu yang kau lalaikan, dan meminta informasi yang selama ini
kau lewatkan. Aku Cuma ingin kau melalukan itu. Aku tak ingin kau Cuma meminta
maaf dan menjadikan amanah lain menjadi kambing hitam untuk melalaikan amanah
kamu yang terlebih dahulu kau pilih dengan sadar.
Baiklah, lupakan
seputar statusku yang tepat sasaran tapi indikator keberhasilannya tak
tercapai. Aku mulai fokus dengan perjalanan yang mengasyikan ini lagi. Tiba-tiba
, aku mendapat sms, dari seseorang, dan dia menyuruhku untuk ke gedung rektorat
sekarang. Aasssshhh amanah.. serba salah. Egois, dan pikiran dimanfaatkan. Aku
bilang aku sedang di Bandung, jadi tidak bisa untuk melakukan permintaannnya.
Aku menyesal karena memilih ke Bandung saat itu. Aku sangat menyesal. Karena
kenapa aku tak berfikir bahwa pasti ada hal yang harus aku kerjakan di nangor.
Aaah,apalah arti menyesal. Karena sekarang aku sudah di tengah perjalanan
menuju Bandung. Baiklah, sekali ini saja, izinkan aku melakukan hal yang ingin aku lakukan. Akhirnya, aku mulai
fokuskan lagi fikiranku ke Bandung.
Singkat kata, sampailah aku di
terminal Caheum.. entah sudah berapa lama aku tak ke terminal itu. 2010 aku
sering transit kesana, berusaha mengejar mimpiku, tapi ternyata mimpiku itu di
alihkan ke tempat lain. Tempat yang sekarang sedang ku jalani..
Sampai di terminal Caheum, aku
belok kiri dan menemukan tujuanku yang pertama. Mutiara kitchen. Aku masuk dan
berkeliling disana. Ada satu moment yang merusak suasana belanjaku. Ketika aku
bertanya kepada seorang pegawai disana mengenai suatu barang, dia Cuma bilang,
“oh, itu ga di jual mba”, dan dia sambil berlalu menjauhi ku. Cih, mental
pegawai. Selalu seperti itu. Aku tidak suka dengan para pegawai. kadang mereka
tidak menjalankan tugasnya dengan maksimal. Kalau dibandingkan dengan
wirausahawan, dia kalah dalam hal mental pelayanan. Wirausahawan mandiri,
mereka dalam hal pelayanan itu maksimal, beda dengan pegawai. Mereka Cuma
maksimal kalau terlihat oleh atasannya saja. Hah ! mental yang perlu dibenahi.
Selesai aku berbelanja, ku lihat
jam di tanganku, pukul 2 kurang 15 menit. Wah, aku belum solat dzuhur. Aku
putuskan sebelum melewati tujuanku berikutnya, aku solat dahulu. Aku mencari
mushola atau masjid. Dan aku menemukannya. Aku solat di masjid di belakang
terminal cicaheum.
Setelah solat, aku titipkan barang belanjaanku di toko
itu karena aku harus ke tempat tujuanku berikutnya : Rumah Sakit Hasan Sadikin
Perjalananku ke RSHS adalah untuk menemui
Teh Nestri dan mengembalikan hard disk nya sekalian memang ingin jalan-jalan.
Aku naik angkot Caheum-Ciroyom. Mengambil tempat di sebelah supir dan memulai
petualangan mataku. Ku telusuri tiap jengkal Bandung dengan mataku. Hah, belum
juga berjalan jauh, mataku menemukan pemandangan yang mengiriskan. Yaaa, terminal
memang sudah terkenal dengan kekejamannya. Lihatlah, anak-anak dibawah umur,
mengamen, menjual asongan. Hmmm, ada yang lebih miris, aku melihat seorang
anak, ku taksir umurnya pastilah belum sampai ke angka 10. Sekitar 9 tahunan.
Kucal, rambut di warnain kuning, dan memberhentikan abang asongan dan aku
tercengang ketika dia membayar uang untuk membeli rokok ! anak 9tahun dengan
rokoknya… miris sekali.. dan kulihat
juga remaja umur 13an dengan tangan kanan memegang lem yang terbuka
bungkusnya. Ku perhatikan wajahnya: mata sayu, tubuh tidak tegap, seperti orang
setengah mabuk. Aku mulai teringat dengan istilah yang sudah ku kenal. “ngelem”.
Apakah ini yang dinamakan ngelem?? Ah, aku sudah tahu istilah itu. Tapi aku baru
menemui orang yang melakukannya di depan mataku sendiri. Remaja pula. Aaah,
miris… apalagi ketika aku mengingat penjelasan dari temanku ketika aku
lontarkan pertanyaan yang membuatku penasaran “kenapa dia ngelem??”. “karena
untuk menahan lapar”. Aku tertegun. Ku cari lagi sosok remaja itu dengan
mataku. Dan perang batin di mulai.
“kenapa dia ngelem??”
“untuk menahan lapar”
“……………………………………………”
Apakah dia selalu kelaparan??
Sehingga dia melakukan itu?? Aaaaaaaa, air mataku mengalir.. lihatlah aku
sekarang, kadang aku sering mengeluh dengan kehidupanku yang sekarang yang
berbeda dengan orang lain yang serba kecukupan. Kuusap airmataku dengan
pura-pura menguap panjang..
Dan mataku menemukan pemandangan
lain. Orang-orang kumuh yang tiduran di taman sebelah Caheum.
Tak habis kata yang ku ceritakan
mengenai tempat yang satu ini…
Laju angkot caheum-ciroyom pun
harus terhambat dengan banyaknya lampu merah di Bandung. Hah! Lama!
Tapi, ketika aku perhatikan, ketika
lampu merah, banyak sekali yang menyerbu jalanan. Pengamen, pedagang asongan,
pembersih kaca mobil, penjaja Koran, dan lainnya. Yaa, aku baru sadar. Lihatlah
ketika kita sering menganggap lampu merah sebagai penghambat, ternyata ada juga
yang menganggap lampu merah sebagai sarana mereka mendapatkan sesuap nasi.
Bahkan kalau bisa, mungkin mereka ingin kalau setiap 5 detik sekali lampu
merah. Agar suara mereka laku, agar dagangan mereka habis, agar jasa yang
mereka tawarkan menjadi kepingan uang. Miris sekali dunia ini.
Angkot hijau itupun mulai melaju
menjauhi lampu merah. Dan mataku pun menjauh dari sosok-sosok pemberi makna
kehidupan itu.
Angkot melaju cepat. Sesekali
berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Dan mataku mulai berjelajah
lagi. Plang nama Perguruan tinggi-pun mulai mewarnai jalanan. Unpad DU, Unikom,
harapan bangsa, dan yang lainnya mulai dilewati. Perjalanan menuju RSHS pun
sangat menyenangkan. Memasuki area sejuk di Bandung… aaah Bandung. Ini yang
membuatku selalu ingin menjelajahimu..
Singkat cerita, aku sudah sampai di
RSHS. Takjub. Itu yang kurasa. Karena ini pertama kalinya ku menginjakkan kaki
di RSHS. Memasuki kawasan RSHS, makin tertegun. Bangunan RSHs ini sangat unik.
Tak seperti rumah sakit yang sudah ku temui di Cirebon. Artistic. Aaaaaa… aku
menjerit dalam hati. Subhanallah..
Dan mulailah angan-angan yang
terucap ketika melihat orang-orang dengan jas putih nya berjalan memasuki dan
keluar dari rumahsakit ini. Aaaaaa, aku sangat ingin jadi dokter. Sangat ingin.
Mencoba kembali memasuki kenyataan,
aku hapus angan itu. Aku mulai meng-sms Teh Nestri bahwa aku sudah di RSHS. Aku
di suruh menunggu agak lama di depan IGD. Hmm, baiklah. Aku pun tak keberatan.
Ku menunggu dengan berdiri. Ku lihat orang-orang yang lalu lalang. Dokter,
pasien, keluarga pasien, penjenguk,supir ambulance,satpam dan lainnya saling
berbaur tidak jelas alurnya.
Perhatianku mulai terfokus. Ku
perhatikan satu per satu orang-orang itu
Dokter muda yang menelepon sambil
berjalan. Hah, pasti dia sangat sibuk. sampai-sampai tak ada waktu untuk menelepon
dengan santai.
Pak satpam yang terlihat sigap.
Menerima dan memberi penjelasan kepada setiap orang yang berjalan di depannya.
Keluarga pasien yang hilir mudik
keluar masuk IGD. Ku lihat berbagai ekspresi di raut muka mereka. Tergesa-gesa
dengan membawa secarik kertas menuju IGD, mata layu, mata dengan sisa airmata
di ujung matanya, baju dan kerudung yang tidak rapi.
Yaaaaaa, tergesa-gesa dengan
membawa secarik kertas. Itu mungkin bukan secarik kertas biasa. Itu pasti resep
dari dokter untuk segera di tebus. Ya, SEGERA. Maka dari itu mereka terlihat
tergesa-gesa. Itu pun semua dengan rasa khawatir yang membayangi setiap langkah
mereka. Seakan setiap langkah mereka menuju tempat menebus resep itu menentukan
hidup-mati keluarganya itu.
Mata layu. Ah, dia pasti merupakan
keluarga dekat si pasien. Karena pasti dia kurang tidur karena harus menjaga
pasien. Di tengah malam pun matanya tak boleh lepas dari alat-alat pemacu
jantung atau penyuplai oksigen itu. Pasti matanya sayu karena itu. Lihat juga
kantong matanya. Hitam di bawah matanya pun seakan tak dia hiraukan demi
menjaga pasien yang pasti salah satu dari yang paling di cintainya.
Sisa airmata di ujung matanya itu
pasti karena seharian atau setiap waktu dia menangisi pasien. Menangisi kondisi
pasien lebih tepatnya. Tangisnya pasti pecah ketika sujudnya mencium sajadah.
Yaa, karena saat bertemu dengan Sang Maha Mendengarlah dia bisa mendoakan agar
orang yang disayanginya itu cepat pulih. Pasti tak henti-hentinya dia menangis.
Sehingga seakan matanya kering, tak bisa menangis lagi. Sehingga hanya
sisa-sisa airmata diujung matanya saja yang terlihat.
Pakaian dan kerudung yang tak
rapih. Ah, pasti dia pun keluarga dekat si pasien. Lihatlah, itu karena focus
dia hanya tertuju pada kesehatan si pasien. Dia tak memedulikan lagi
penampilannya. Itu hanya hal sepele. Padahal kalau kalian fikirkan, dia
berpenampilan seperti itu di depan umum. Mungkin kalau bukan karena ada
keluargana yang ada di sini, tak kan pernah dia keluar rumah dengan penampilan
sekarang. Apalagi di depan umum. Tapi lihatlah, badannya tak menampakan
keraguan sedikitpun berjalan di depanku dengan penampilan tak rapih itu.
“………………………………………………………………………………………………………………”
Hah, mungkin kalian bertanya-tanya
atau malah mencibirku karena aku terlihat sok tahu. Tapi kalau kalian tahu. Aku
pernah merasakannnya.
Pikiranku melayang jauh. April
2011. Aku pernah merasakan itu. Merasakan semua yang aku ceritakan diatas.
Makanya aku tahu dengan persis setiap tingkah laku orang-orang yang berjalan
melewatiku.
Aku tahu. Aku merasakannnya. Aku
menjadi bagian darinya. Dan aku, adalah dia.
Cerita selanjutnya di
“April 2011”.
Gerimispun mulai mengguyur atap
RSHS. Aku Terbangun dari lamunan ketika sosok yang ku tunggu datang. Kami
berbincang secukupnya. Dan teh nestri pun mengajakku untuk solat di mess
co-ass. Teh nestri ini adalah co-ass dokter. Dia dokter muda dari FK Unpad
2007. Sosoknya sangat santun, dan ku rasa, semua sifat baik ada di dalam
dirinya. Aku kagum padanya. Aku ingin sepertinya.
Akhirnya sampailah aku di mess
co-ass. Waw! Aku iri dengan yang ada di ini. Aku ingin seperti mereka yang ada
di sini. Tapi, sepertinya itu tak mungkin lagi. Hanya doa yang bisa ku
panjatkan untuk mereka. Semoga mereka menjadi dokter yang benar. Yang bisa
menyelamatkan dan menyembuhkan banyak orang melalui tangannya. Aamiin J
Saatnya untuk pulang. Gerimis
mereda. Dan ku mulai perjalanan pulangku dengan angkot hijau yang sama. Di
lampu merah, ada seorang remaja dengan gitarnya menyanyikan sebuah lagu. Dengan
pembukaan yang sopan. Suaranya mulai mengalun. Merdu. Berbakat. Aku teringat
dengan sebuah kalimat “tak peduli seberbakatnya anda, kalau tidak di salurkan
ke jalan yang bisa membuatmu semakin bernilai, tetap kau dianggap tak berbakat,
tak bernilai”
Nilai diri, begitu pentingnya kawan..
Perjalananku kali ini sangat
berarti. Kisah demi kisah terhadir di depan mataku sendiri. Menjadi setiap
pelajaran dalam memasuki gerbang kedewasaan. Menuntut untuk kian berkarya. Yaa,
aku tiada ragu lagi untuk berkarya dan bermanfaat. “manfaatkanlah dirimu untuk
bermanfaat bagi orang lain”. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar